Jumat, 23 Maret 2018

Saya dan Drama Korea


Tayangan drama Korea merupakan tayangan televisi yang banyak menghipnotis penontonnya. Bahkan melahirkan banyak sekali penggemar-penggemar baru. Segala usia, maupun segala profesi. Saya pun akhirnya belakangan ini menyukai drama Korea. Agak aneh memang. Apalagi bagi seorang lelaki. 
Rekan kerja saya yang sama profesinya dengan saya pernah berkata begini " Haaaah? kamu itu dosen yang tepat waktu kalau ngajar. Tampang sangar, dan cool, pendiam,  disegani para mahasiswa, ternyata  tontonannya drama korea. haaaa?? ga salah?." Ya kira-kira begitu yang disampaikan rekan saya. Apalagi rekan saya itu wanita. Bayangkan saja bagaimana cara menuturkannya kepada saya dengan gaya wanita pada umumnya. Lalu iya melanjutkan keheranannya itu pertanyaan singkat sederhana dan dilanjutkan pernyataan. "Kok bisaaa??? sih mass??? Aku aja yang cewek, ya meskipun suka tapi ga terlalu lah. Kamu kok suka?." 
Jadi, mengenal drama Korea itu bukan hal yang baru bagi saya. Dulu, ketika saya kuliah teman-teman saya khususnya yang cewek, sangat suka nonton drama korea. Dulu, drama yang sedang booming, judulnya Full House. Tidak banyak yang saya tahu tentang tayangan itu. Saya hanya tahu pemeran laki-lakinya bernama Rain. Seiring berjalannya waktu saya baru tahu Rain itu nama asli pemerannya bukan nama di dalam tayangan tersebut. Tayangan Korea lalu berkembang dan semakin menjamur di Indonesia. Bahkan bukan cuma drama Korea saja tetapi juga berkembang boyband dan girl band Korea. Gonjang-ganjing itu sampe merembes ke dunia musik Indonesia yang mengarah ke Korea Style. Ditambah lagi kekasihku yang kini menjadi istriku sangat menggandrungi baik film, tayangan drama, hingga musik Korea. Bahkan ketika tahun 2010 saya, diajak untuk menemani dia kursus bahasa Korea. Hedeh. Itu adalah saat dimana saya merasa "hidupku kok begini-begini amat? kok sampe harus belajar bahasa Korea segala?" Ini semua karena cinta. Hahaha begitu konyolnya saya ketika itu. Saya bahkan harus ikut program bahasa Korea itu sampai 2 level. Level dasar dan level dasar (mengulang karena tidak lulus). Masa-masa menjalani kursus bahasa itu berlalu saya tidak juga bergeming, untuk menyukai Korea. Baik budaya, bahasa, lagu, musik, film maupun drama Korea. Bagi saya itu hanya trend kaum muda ketika itu saja. Pikir saya " ah paling juga nanti hilang seperti trend sebelumnya." Saya hanya fokus mencintai kekasih yang menjadi istriku, sedangkan ia masih saja menyukai tayangan drama Korea meski kami sudah mempunyai 3 buah hati. 
8 tahun berlalu, barulah saya tergerak dan muncul rasa penasaran saya tentang tayangan Korea. Darimana? dari teman-teman yang sayang kunjungi di Lombok. Lombok? iya Lombok. Jadi, diawal tahun 2018, saya pergi ke Lombok mengunjungi teman-teman saya. Teman-teman yang saya kenal dari bermain game online. Kami bermain game online bersama sejak tahun 2010. Tak pernah sekalipun bertemu, namun kami sangat akrab di dalam dunia game
Saat saya bertemu dengan mereka, sebagaimana kawan lama tak bertemu. Begitu hangat dan akrab. Saya diajak jalan berkeliling Lombok. Lalu bermain game bersama.
Malam sebelum saya  pulang meninggalkan lombok. Saya menginap di rumah teman saya. Kami bermain game dirumahnya hingga  malam. Kemudian  berhenti main game, kami capek.  Lalu salah seorang teman saya beranjak dari tempat kami bermain game. Ia mengambil rokoknya dan kopi hitam di cangkir yang telah disiapkan untuknya di ruang sebelah. Tak lama kemudian ia kembali. Layar game yang tadinya kami gunakan untuk bermain game, ia ubah ke layar website. Lalu ia mulai menayangkan drama Korea dilayar PCnya yang berukuran 21inch. Saya terkejut. Lalu saya mengoceh " asem nonton apaan nih? filem Korea? buset dah. sangar-sangar nontonnya Korea." 
"Bagus nih po (panggilan nama gameku). Lu aja po nih, yang belum tau. Yakin deh, lu nonton, ketagihan lu." 
Saya tertawa mendengarnya. Sambil tertawa saya mengamati dia dan keluarganya, yang asik bercerita. 
"sudah sampe mana ini bang? kok dia udah kesini aja?" 
"Gak tau abang juga nih, abang juga kelewat episode ini, kemarin kan abang pergi.
"oh, ini, dia ke masa depan lagi ni bang. Aku dah lewat ini, aku dah lewat episode 5"
Saya menyimak percakapan itu kayaknya kok seru. Kayaknya ini keluarga pada doyan sama tayangan Korea. Saya tanya ke mereka "emang film apa sih ini? tentang apa maksudnya?" 
"oh ini tentang dokter-dokter po, dia dari masa lalu, terus dia terjebak ke masa depan. Lucu ini. Hmm.. gimana ya, kalo diceritain panjang, lu ikut nonton aja dah"
Akhirnya saya pun ikut menonton. Meskipun tidak dengan serius. Sambil nonton saya sambil main game di HP saya. Tidak terlalu fokus dengan film. Sedangkan teman saya itu nonton hingga subuh menjelang. Lalu ia mengantarkan saya ke bandara. Kamipun berpisah dan kembali menjalani aktivitas kami masing-masing. 
Sesampainya dirumah saya, saya bercerita tentang bagaimana saya bertemu dengan teman-teman saya kepada istri saya. Termasuk kemana saya diajak berkeliling, bagaimana tempat-tempat wisata disana. Banyak hal, termasuk saya cerita kok teman-teman saya juga suka drama Korea. Istri saya sambil tertawa kecil bertanya
"nonton film apa emang?" saya jawab "gak tau, cuman tentang dokter masa lalu ke masa depan" 
"oh Dr.Heo kali. Film baru tuh tahun 2017 kemarin." 
"mungkin, coba tar deh ku tanya"
Ketika pas ada kesempatan saya chat dengan teman, saya tanyakan judul drama Korea yang tempo hari dia tonton. Kata dia " Live up your name" 
Saya search di google, oh iya benar nama lain judul drama ini emang Dr. Heo. Saya sampaikan ke istri. Lalu ia bilang "tuh kan bener, bagus sih. Lucu juga. Aku dah nonton. Ini lagi nonton judul lain." Hmm.. seperti biasa gumamku. 
"Cari aja di viu, ada kok." Dan itulah kata pamungkas yang mengubah jalan hidupku. Dengan penuh rasa penasaran, saya download Filmnya dari episode 1-16. Saya tonton selama 1 hari. Selesai. Dari tayangan inilah kemudian saya penasaran dengan drama Korea lainnya. Drama yang dulunya saya terheran-heran kenapa banyak orang yang menyukainya. Ternyata. Drama Korea itu memang tidak bisa dipandang remeh. Beberapa judul drama bahkan kualitas gambarnya sudah seperti Film layar lebar. Emosi dalam tayangan yang dihadirkan oleh aktor dan aktris, harus diakui hebat. Itu sebabnya ketika saya nonton drama ini, saya tertawa, kesal, marah, tegang bahkan sedih (tidak sampai menangis). Hingga saat ini saya menjadi barisan penggemar drama Korea, pun dengan beberapa judul film Korea. 
Itulah cerita saya. Kalau kamu?

Kamis, 22 Maret 2018

Saya dan sekolah

Belakangan ini, saya masih terpikirkan tentang dorongan untuk sekolah lagi. Kadang saya berfikir, takdir apa yang saya dapatkan dari Allah ini. Saya adalah salah seorang diantara orang-orang yang kurang atau mungkin bahkan tidak berprestasi dalam sekolah. Namun mengapa saya masih berada pada lingkungan sekolah.

Saya masuk ke dunia sekolah, usia 5 tahun. Sekolah dasar. Pada usia 16 Tahun, saya menyelesaikan pendidikan sekolah dasar hingga Sekolah menengah Atas. Saya masuk ke sekolah yang punya jenjang tertinggi, itulah disebut dengan perguruan tinggi, ketika usia saya tepat 17 tahun. Saya ingat betul hari kedua saya menyelesaikan pesona ta'aruf saya merayakan hari uang tahun ke 17 di tanah perantauan, Jogja, bersama seorang teman yang bahkan baru saya kenal, dan dia adalah orang yang pertama kali saya traktir makan dengan ongkos hidup sebagai mahasiswa. Ongkos hidup saya sebagai mahasiswa ketika itu Rp. 300.000 selama sebulan. Saya mentraktirnya makan sate. Saya masih ingat betul. Hari itulah saya "resmi" menjadi mahasiswa di Universitas Islam Indonesia. Saya selesai dari UII, 5 tahun kemudian. Usia saya 22 Tahun. Saya merasa lelah belajar di sekolah. Saya memilih untuk mencoba jalan lain yang tidak ditempuh sebagian besar teman-teman saya. Jalan mencari pekerjaan. 

Saya dan beberapa teman saya memilih merintis usaha. Hampir setahun usaha itu berjalan namun kandas, karena ternyata kerasnya dunia usaha membuat beberapa teman, termasuk saya roboh. Saya kembali mendapatkan dorongan sekolah lagi. Saya bosan, namun saya merasa penasaran. Khususnya tentang ilmu bisnis dan dunianya. Saya adalah tipe orang yang tidak terlalu suka trial dan error ketika itu. Jadi saya memilih untuk pergi belajar mendalami apa yang salah sembari belajar pada praktik yang selama ini ada diberbagai belahan dunia. Saya pun mau tidak mau harus kembali sekolah. Saya sekolah profesi, 1 tahun lalu saya lanjutkan ke jenjang master. Usia saya 23 tahun ketika berada di jenjang master. Saya lulus dari jenjang master ini 4 tahun. Waktu yang  tidak biasa. Ternyata persoalnnya bukan hanya bisa dan belajar saja tetapi persoalan lain dalam kehidupan ini yang tidak bisa saya kelola. Pada usia 27 Tahun. Dengan usaha yang keras saya akhirnya bisa lulus. Saya merasa ini adalah final dari proses belajar saya. Cukup. Saya akan kembali ke jalur yang saya tempuh dahulu bersama teman-teman. Yakni jalur yang saya hindari. Yakni jalur tidak mencari pekerjaan, namun menciptakan pekerjaan. Selagi saya ingin berjalan diatas jalur ini, ternyata takdir berkata lain. Kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat, batal. Saya dipanggil pulang ke kampung halaman. 

Orang tua memanggil saya pulang. Sesampainya di kampung halaman, Jayapura, saya disambut oleh tak hanya keluarga tetapi pihak yang saya tidak duga-duga. Sekolah. Tepatnya perguruan tinggi. Saya langsung berfikir, Oooh, inikah yang dikatakan takdir. Saya merasa sudah cukup untuk belajar, namun kita saya harus untuk kembali belajar, bahkan kali ini saya harus belajar ekstra karena saya diminta untuk menjadi pengajar. Tak pernah terbayangkan diusia saya ketika itu 28 menjelang 29 tahun saya harus menjadi pengajar. Bahkan saat ini saya sudah 2 tahun menjadi pengajar, dengan menghadapi situasi yang tak pernah saya bayangkan. Saya bukan hanya mempelajari bahasan yang saya ajarkan, saya harus mempelajari manusia. Hal yang sebelumnya tidak pernah saya pelajari lebih dalam. Belum usai saya belajar, saya sudah mendapatkan dorongan untuk kembali belajar di sekolah. Saya didorong untuk kembali masuk ke dunia sekolah pada jenjang yang paling tinggi. Yakni jenjang doktor. Bagi saya ini takdir yang tidak bisa saya pahami. Andaikan saja saya benar-benar masuk pada sekolah tertinggi itu, saya pun akan kembali bertanya. Mengapa harus saya? Saya, orang yang tidak berprestasi, bahkan tak pernah memuaskan dalam berprestasi dalam sekolah sejak saya lahir hingga sekolah terakhir saya. Padahal, di luar sana banyak orang yang jauh berprestasi dari saya. Inilah takdir yang punya rahasia besar dan tidak bisa terungkap dalam kehidupan saya.




Selasa, 25 Juli 2017

Cara mengaktifkan hotspot pribadi di Iphone untuk ios 10

Sebelumnya saya pernah mengalami kesulitan dalam mensetting hotspot pribadi dari smartphone Iphone saya. Khususnya ketika sudah menggunakan ios 10 ke atas. Saya sudah mencoba mengutak-atik dengan cara melihat di google, ternyata saya menemui masalah. Jaringan Hotspot pribadi saya hanya bisa diakses ketika jaringan 4G atau LTE saja ketika saya mengubah data ke jaringan 3G ternyata hotspot saya eror. Jadi, bagi teman-teman yang mengalami kesulitan yang sama dengan saya dalam mengaktifkan hotspot pribadi untuk ios 10 bisa mencoba melakukan hal berikut:

1. Pergi ke pengaturan kemudian pilih Seluler


2. Kemudian pilih, pilihan data seluler



3. Pilih Jaringan data seluler


4. Scroll ke bawah pilih Hotspot pribadi lalu ketik pada kolom APN; internet

untuk kolom yang paling atas yakni pilihan data seluler isikan APNnya juga dengan ; Internet. Selebihnya tidak perlu diisi. Anda bisa lihat seperti gambar berikut:



5. Kembali ke pengaturan lalu akan muncul Hotspot pribadi seperti ini: 

6. Sekarang tinggal anda nyalakan hotspot pribadinya, dibawah hotspot pribadi nanti akan ada password yang akan digunakan agar bisa mengakses internet dari hotspot pribadi yang telah anda buat. Saya pribadi menuliskan nama saya sendiri: 


7. Selesai. Sekarang anda dapat menikmati internet dari hp iphone anda. 

Catatan saya menggunakan jaringan operator telkomsel. 

Rabu, 28 September 2016

Long life learner: cerita dari Jogja

Long life learner

Saya pertama kali mendengar kalimat ini dari dosen akuntansi saya. Secara makna berarti, pembelajar seumur hidup. Sebagian orang menghabiskan uangnya untuk investasi di bidang pendidikan. Puluhan. Bahkan mungkin ratusan juta, untuk belajar. Belajar apa saja. Bisa yang berkaitan tentang agamanya atau dunianya. Atau dua-duanya. Pertanyaanya, seberapa pentingnya belajar? Maka jawabannya sangat penting. Kecuali anda ingin dikatakan bodoh. Orang yang menjadi pembelajar bukan berarti ia pintar. Melainkan ia sedang beranjak meninggalkan satu kebodohannya tentang beragam hal di dunia ini. Misalnya ketika anda belajar tentang akuntansi, maka sebebnarnya anda sedang berusaha untuk beranjak dari kebodohan anda tentang akuntansi. Setidaknya, ketika anda bertemu dengan orang (yang seringkali merasa dirinya) pintar, anda tidak mudah dibodoh-bodohi. 

Beberapa hari ini saya bertemu dengan bukan cuma satu orang, tapi puluhan orang pembelajar. Meskipun hampir semua dari mereka adalah pengajar yang berpengalaman di bidang Akuntansi. Namun, mereka masih ingin terus belajar tentang akuntansi. Mereka adalah para Dosen di perguruan tinggi dan juga para guru di SMK yang khusus untuk mengajarkan mata kuliah akuntansi. Pengalaman mereka bukan cuma 1-2 tahun mengajarkan akuntansi melainkan 5 hingga bahkan ada yang sudah 26 tahun mengajarkan akuntansi. Kompetensi mereka sudah teruji. Kecuali saya yang jauh dari mereka yang berpengalaman. Saya sendiri belum ada satu tahun mengajarkan akuntansi. Namun, mereka, para pengajar itu dengan rendah hatinya masih ingin mengikuti program pembelajaran. Menjadi pelajar. Pembelajar. Program yang diadakan oleh salah satu universitas negeri ternama di Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada.

Seharusnya dengan jumlah kuantitatif pengalaman mereka dalam mengajar, mereka sudah tidak butuh belajar lagi. Tapi begitulah mereka. Mereka masih merasa kurang dalam ilmu, dan rela mengeluarkan uangnya yang tidak sedikit demi meningkatkan pengetahuan mereka. Para peserta pelatihan dan pengajaran akuntansi berasal dari berbagai daerah. Ada yang dari sumatera, seperti Aceh, Jambi, Bengkulu, Palembang dan beberapa tempat lainnya. Ada yang dari Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa tenggara (timur dan barat) bahkan saya sendiri dari Papua. Saya benar-benar sendirian dari Papua.

Saya punya pengalama unik ketika mengikuti program tersebut. Saya bertemu dosen-dosen senior dan hebat. Seperti salah satu orang diantara mereka yang menjadi teman saya berbincang dan bertukar pikiran selama kegiatan, pak Abdurrahman namanya. Beliau dari Makassar. Mengajar di Unhas, sudah dari sejak tahun 90an. Masa ketika saya bahkan belum masuk dalam tingkatan sekolah dasar. Luar biasa. Beliau juga menjadi auditor di beberapa perusahaan dan telah mengembangkan beberapa pemograman akuntansi. Namun sedikitpun saya tidak melihat bagaimana beliau menunjukkan kepada orang lain bahwa beliau itu hebat dan sangat berpengalaman dalam mengajar. Hal yang ditunjukkan malah sebaliknya. Beliau menunjukkan pada orang lain bahwa beliau sangat butuh belajar. Bahkan ketika berbicara dengan saya, beliau mengatakan "saya ini, masih nol tentang akuntansi. Mungkin diantara pada dosen disini saya masih kurang sekali tentang akuntansi." Mendengar kalimat tersebut keluar dari mulut beliau, saya langsung membatin. "Beliau yang sudah lama begini saja masih bilang beliau butuh belajar, apalagi kamu wahai Ridhwan, masih cupu, tentu masih sangat perlu sekali belajar." Cerita demi cerita dari beliau, saya dengarkan tentang suka dan duka mengajar. Kadang saya bertanya tentang tips-tips mengajarkan akuntansi kepada mahasiswa, bahkan saya coba menjelaskan bagaimana cara saya mengajar agar beliau tanggapi dan berikan masukan. Sungguh pengalaman berharga yang tidak akan bisa saya dapatkan di tempat lain.

Sejak pertemuan itulah saya menjadi yakin bahwa menjadi seorang pembelajar itu tak mengenal waktu. Sampai mati kita akan belajar. Baik itu belajar tentang perkara dunia maupun yang menyangkut akhirat. Atau belajar kedua-duanya sebagaimana yang sedang digeluti oleh pak Abdurrahman dan seringkali ia ceritakan kepada saya.

Ayo (terus) belajar.

Senin, 15 Agustus 2016

Studi doktoral?

Beberapa waktu ini saya didorong untuk kembali "nyemplung" ke bangku kelas. Kali ini bangku kelas yang menurut saya sangat mewah. Meski sudah banyak orang-orang yang mendudukinya dan berhasil, bahkan dengan waktu yang relatif sangat cepat. Itulah bangku studi doktoral. Sebagai contoh, pimpinan di Instansi saya bekerja, ia menghabiskan waktu menyelesaikan pendidikan doktoralnya hanya dalam waktu 2 tahun, dan itu bukan cuma 1 orang. Saya sampaikan pada beliau rasa takjub saya. Beliau berkata "sebenarnya sekolah itu nasib-nasiban. Ada yang cepat ada yang lama. Tergantung dari kitanya saja bagaimana. Alhamdulillah, saya bisa cepat." Akhirnya saya terlibat perbincangan yang seru dan berakhir pada kalimat. "Mumpung masih muda. Pergi sekolah saja. Kalau soal dana bisa dicari dari beasiswa. Kalau sudah tua, gak enak. Saya saja "menyesal" kenapa sejak muda dulu saya tidak sekolah lagi (studi doktoral). Apalagi kamu masih muda, anak-anak juga belum terlalu besar. Cepat-cepatlah sekolah." 

Dalam benak saya tentang studi doktoral, itu sebuah studi yang tak hanya prestisus tapi juga akan penuh dengan perjuangan akademik yang sangat panjang, biaya yang besar dan tanggung jawab yang juga besar jika bisa berhasil melewati jenjang tersebut. Saat ini saja dengan gelar Master yang saya peroleh dari kelas pasca sarjana saya masih merasa belum bisa "berkarya" dengan baik. Ditambah lagi dengan dorongan untuk melanjutkan studi. Belum lagi saya masih terbayang betapa menderitajya saya menyelesaikan tesis. Tulisan ilmiah yang menurut sebagian orang mudah dan gampang. Tapi tidak bhi saya. Meskipun bisa menulis dalam hal-hal yang mudah. Namun untuk menulis secara ilmiah saya asudah lempar handuk duluan. Mungkin ini yang disebut kalah sebeleum bertanding? Ya. Bisa jadi. Atau mungkin lebih tepatnya. Sadar diri sebelum keblinger. 

Studi doktoral? Ah entahlah. Kemana takdir mengalir disitu saya oke-oke saja. Saya hanyalah hamba, yang mengikuti jalan takdir yang telah ditetapkan. 

Minggu, 31 Juli 2016

Pengangguran yang menjadi pengangguran

Sebagian orang beranggapan setelah ia menempuh jenjang pendidikan tinggi ia akan memperoleh pekerjaan yang membuat taraf kehidupan ia menjadi lebih baik. Ia dapat bekerja di perusahaan ternama ataupun mendapatkan status sosial yang baru. Menjadi manajer misalnya, menjadi staff akuntansi, atau sebut saja ia menjadi staff kantoran. Tentu saja hal ini masih sangat diimpikan bagi sebagian besar orang yang ada di Indonesia. Sehingga ia menghabiskan waktunya, uangnya, sebagian besar kebahagiaannya untuk berhadapan dengan tugas-tugas belajarnya dan dengan berbagai materi perkuliahan yang sama sekali mungkin tidak dibutuhkan ketika ia masuk dunia kerja. Hingga sampailah ia mendapatkan gelar dari tingkat pendidikan tinggi. Sarjana. Namun, tak ia sangka ketika ia menjalani waktu dalam belajar, ia kembali harus menerima kenyataan bahwa dunia pekerjaan yang ia impikan membuthkan beberapa kriteria yang lain. Misalnya ia harus punya spesialisasi tertentu. Akhirnya ia pun memutuskan untuk menekuni jenjang pendidikan setelah pendidikan tinggi dengan mendaftarkan dirinya ke pendidikan spesialis. Ia pun mendapatkannya. Ia kembali masuk ke dunia bursa kerja. Pahit. Ia masih belum mendapatkan pekerjaan yang ia impikan. Ia kembali harus melanjutkan perjuangannya menapaki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Jenjang Master. Dua, tiga, empat tahun berlalu. Ia menjadi Master. Sekarang ia berada diatas angin. Ironi. Pekerjaan yang ia impikan ternyata sudah tak lagi menginginkannya. Umurnya telah melewati batas. Akhirnya ia masuk ke pekerjaan yang apa adanya.

Hari-hari masuk dalam dunia pekerjaan telah ia rasakan. Menjadi pengangguran yang berstempelkan mahasiswa telah ia lewati. Perlahan demi perlahan status sosialnya mulai berubah. Menjadi seseorang yang bekerja. Setidaknya ketika ia bertemu dengan orang-orang yang baru. Ia bisa menjawab pertanyaan, "kerja dimana sekarang?" Namun hakikat menjadi pengangguran tetap sama saja ia dapatkan. Ketika ia masuk ke dunia pekerjaan yang tidak ia impikan, ia akan menemui dunia pekerjaan yang dalam aktivitas kesehariannya, lebih banyak menganggurnya daripada bekerja. Dunia pekerjaan dimana para karyawan tidak dibina dengan pendidikan yang cukup atau pelatihan yang cukup sehingga visi dan misi dari perusahaan tidak sinergis dengan para karyawan. Dunia pekerjaan yang mana hari-harinya hanya menunggu masa saat gajian. Itupun dengan gaji yang tidak seberapa.Para karyawan yang masuk kadang masih saja bertanya-tanya, apa yang harus saya kerjakan? Apa yang sebaiknya saya kerjakan? Apa yang bisa saya bantu kerjakan? dan pertanyaan-pertanyaan lainnya karena tidak adanya poin visi atau misi dalam benak para karyawan. Sehingga motivasi karyawan terbatas hanya ketika ada pekerjaan yang datang menghampiri mereka. Katakanlah para karyawan telah dibekali dengan pendidikan, entah pendidikan pra jabatan atau yang lainnya. Beberapa diantara mereka masih lebih sering memangku dagu menatap layar komputer, dengan tatapan kosong, atau tatapan penuh status di media sosial atau menontov film dengan menggunakan media dan fasilitas yang disediakan kantor. 

Dengan kenyataan ini,saya cuma bisa bilang, yah begitulah.

Solusinya, cobalah pahami visi dan misi organisasi dimana tempat anda bekerja. Konsultasikan kepada atasa anda tentang capaian strategi yang sudah ia jalankan, sudah sejauh mana, sehingga ada gambaran bagi anda untuk mengerjakan sesuatu. Timbang nganggur.

Jumat, 29 Juli 2016

Seumur Hidup Menjadi Pendatang

Jangan salahkan ibu mengandung. Jangan pula salahkan dimana ibu melahirkan. Begitulah kira-kira, apa yang saya dan mungkin beberapa orang yang sama nasibnya dengan saya. Kami lahir di tempat yang bukan kota atau tempat kelahiran atau asal dimana orang tua kami dilahirkan dan dibesarkan. Saya dilahirkan di tempat orang tua saya bekerja. Dimana status mereka sebagai pendatang. 

Ketika saya duduk di bangku SD hingga SMA saya sering mendapatkan pertanyaan oleh beberapa teman saya. Pertanyaan yang sederhana namun belum tentu bisa memberikan jawaban yang sesungguhnya. Pertanyaan itu ialah, "kamu asli mana?." Pertanyaan ini begitu sederhana, dan selalu saya jawab juga dengan jawaban sederhana. "Maksudnya gimana?" iya, jawaban dalam bentuk pertanyaan. Lalu ia tanya lagi suku mana. Lalu ini menjadi sulit untuk di jelaskan. Karena yang beredar di sebagian besar masyarakat kita, jika seseorang lahir dan dibesarkan di suatu wilayah, jadilah orang tersebut menjadi bagian dari penduduk tempat tersebut. Katakanlah, ia lahir di Jogja, ia dibesarkan dan beranak pinak disitu, maka ia menjadi bagian dari orang Jogja. Nah, dalam silsilah keluarga saya, ketika ayah saya di tanya dia orang mana, ia akan menjawab ia orang Dobo. Karena ia lahir dan dibesarkan di Dobo. Keluarga besarnya tinggal di Dobo. Dobo merupakan salah satu pulau yang berada di Maluku Tenggara. Namun Kakek saya, adalah orang Bone. Beliau lahir dan di besarkan di Bone. Salah satu Pulau yang berada di Sulawesi. Hingga kemudian ia bersama ayahnya merantau ke pulau Maluku dan singgah di Kota Dobo. Adapun Kakek Buyut saya, saya tidak tahu beliau asli mana, lahir dimana dan dibesarkan di pulau atau kota mana, karena saya cuma tahu silsilah sampai kakek saya saja. Itu sekilas dari bapak dan kakek saya yang asal-usulnya dari pulau atau kota dimana mereka dilahirkan dan dibesarkan. Saya? Saya lahir dan dibesarkan di Kota Jayapura. Dari yang semula provinsinya bernama Irian Jaya hingga menjadi Provinsi Papua. Bahkan hingga provinsi Papua di pecah menjadi Papua dan Papua Barat. Selama kurang lebih 17 Tahun saya hidup dari lahir hingga remaja. Namun, hingga matipun saya di tanah kelahiran dan dibesarkan bahkan hingga mengkeriput kulit tubuh ini, saya tidak akan pernah disebut sebagai putra daerah. Karena saya akan tetap disebut seumur hidup sebagai pendatang. 

Rambut saya lurus, agak bergelombang. Tidak ikal, tidak juga keriting. Kulit tubuh saya tidak hitam arang, juga tidak seputih salju. Aslinya kulit saya putih meskipun tak seputih salju, namun karena lama berinteraksi dan tinggal di kawasan tropis lama kelamaan kulit saya menjadi kecoklatan. Ibu saya bukan orang asli Papua, begitu juga bapak saya. Jadilah saya tidak termasuk dalam kriteria orang Papua. Sebagaimana potongan lirik lagu yang selalu dibangga-banggakan oleh orang Papua. "Hitam kulit, keriting rambut, aku Papua." Bahkan ada sebagian orang pendatang yang bernasib seperti saya suka menyanyikannnya padahal hal itu sama sekali takkan mengubah status ia menjadi orang Papua. Lucu. Bahkan saya sempat membaca dalam sebuah koran lokal yang paling terkenal di Papua tentang kriteria orang Papua. Salah satu atau keduanya dari orang tua anak orang asli Papua (Baca, hitam kulit, keriting rambut), sudah 20 tahun tinggal di papua dll. 

Sekarang saya punya keluarga kecil. Ketika saya remaja saya pergi merantau ke Daerah Istimewa Yogyakarta. Saya hidup selama 12 tahun lamanya. Melepas masa remaja, lajang dan mempunyai dua orang anak yang dilahirkan di Sleman Yogyakarta. Sekarang pertanyaannya, ketika ditanyakan kepada anak saya kelak ketika (Insya Allah) mereka seumuran saya, kira-kira apa jawaban mereka? Saya hanya bisa tersenyum saja. 

Setelah 12 tahun tinggal di Yogyakarta, kini saya kembali ke kota kelahiran, Jayapura. Entah sampai kapan disini. Hanya saja sekarang saya datang dengan perasaan yang baru, yakni tak lagi mengkhawatirkan atau bertanya-tanya siapa saya sebenarnya, suku mana, asli mana. Karena seumur hidup saya, saya akan tetap dan terus menjadi pendatang. Cukuplah sebuah hadits Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam yang menjadi penghibur hati ini,  " عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: أَخَذَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ بِمَنْكِبَيَّ فَقَالَ: كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يَقُوْلُ: إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang kedua pundakku lalu bersabda, “Jadilah engkau hidup di dunia seperti orang asing atau musafir (orang yang bepergian).” Lalu Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu menyatakan, “Apabila engkau berada di sore hari, maka janganlah menunggu hingga pagi hari. Dan apabila engkau berada di pagi hari maka janganlah menunggu hingga sore hari. Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu. Dan pergunakanlah hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al-Bukhariy no.6416).

Begitulah kira-kira sebagaimana seorang musafir atau orang yang melakukan perjalanan, sepanjang hidupnya akan menjadi pendatang. Seumur hidup menjadi seorang pendatang.